Hidup
ini memiliki banyak warna. Ratusan, bahkan ribuan warna bisa kita lihat di
sekeliling kita. Ada warna kebahagiaan yang bisa kita lihat di senyum
orang-orang, ada pula warna kesedihan yang terciprat diantara tangis dan
kesedihan. Warna kemarahan, warna kebimbangan, dan masih banyak lagi
warna-warna di dunia ini. Setiap warna terkumpul membentuk warna yang baru,
hingga dunia ini tampak lebih indah tiap kali kita mengedipkan mata.
Aku
juga pernah melihatnya, warna-warna indah saat pertama kali bertemu dengan dia.
Perasaan bahagia yang ingin kuceritakan pada orang-orang yang kutemui.
Sejak
pertama kali melihatnya, bagiku dunia tampak seperti kanvas. Dimana setiap kali
aku melihatnya, satu warna tercoret di kanvas itu. Melihat senyumnya, wajahnya,
bahkan saat memandanginya dari belakang. Dari jarak puluhan meter. Setiap kali
memandanginya dan mengingatnya adalah saat paling manis yang pernah kurasakan.
Lebih manis dari gula-gula kapas merah jambu.
Tapi
sebelum aku sadar, sudah terlalu banyak warna yang tercampur disana. Akhirnya
warna-warna itu tercampur. Semakin gelap dan muram. Sama seperti saat aku
menyadari kalau aku tidak akan pernah bisa menjangkaunya.
Bagiku
keberadaannya sangat jauh sekali. Sangat jauh hingga bayangannya menjadi samar.
Baginya, aku adalah sesuatu yang tak pernah terlihat keberadaannya.
Terlalu
banyak warna. Akhirnya menjadi abu-abu, semakin gelap, lalu jadi hitam. Sangat
hitam hingga membuat semua orang berpaling dan enggan melihat warna itu. Kusam,
dan kotor. Dan itulah saat dimana aku mengetahui kalau aku tak akan pernah lagi
bisa dilihat olehnya—seberapapun kerasnya aku mencoba. Aku tak akan pernah bisa
meraihnya.
Tidak
akan pernah, karena sudah ada seseorang yang menggenggam tangannya. Menariknya
menjauh dari pandanganku. Tiap detik semakin jauh, hingga akhirnya hilang.
Menyisakan warna hitam yang keruh.
Tapi
setidaknya, berkatmu aku pernah melihat indahnya warna-warna itu. Terima kasih.
Semoga suatu saat kamu bisa menyadari keberadaanku
0 komentar:
Posting Komentar
jangan komentar aneh-aneh kak... nanti dimarahin pak Tifatul